4 Desember 2024

Oleh: M. Adib Fuadi Nuriz
Ketua 1 PP IKPM Gontor

Sabtu 7 Desember 2019 pukul 17.10 Gontor kembali kehilangan Alumni terbaiknya. Beliau adalah KH. M. Shodiq Noerhadi, alumni Gontor tahun 1973. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi rojiun.

Tahun 1997 saya pertama kali mengenal Ustadz Shodiq Nurhadi. Ketika itu saya kebagian Rihlah Iqtishodiyyah kelas 6 di Bojonegoro. Saya masih ingat ketika itu kami ditunjukkan usaha beliau di antaranya adalah gudang tembakau, toko, dan lain-lain. Gudangnya sangat banyak dan usahanya maju. Selain itu kami diajarkan tentang kiat-kiat usaha dengan modal kejujuran, amanah, dan disiplin, ala gontor.

Sosok beliau ini sangat berkesan bagi saya, karena sering berjumpa beliau baik di rumah beliau, di Gontor dan di beberapa acara. Beliau orang yang sangat rendah hati, bersahaja, namun berwibawa. Kiprahnya dalam bermasyarakat utamanya di Muhammadiyah tidak diragukan lagi. Peran politik dalam kancah wilayah maupun nasional juga ikut berperan bahkan menentukan. Namun semua itu beliau lakukan dengan tulus ikhlas lillahi ta’ala.

Sebelum acara Temu Pengusaha Alumni dan Lokakarya dalam rangka peringatan 90 Tahun Gontor, saya bersilaturahim untuk mengundang beliau untuk menjadi narasumber. Pada waktu itu beliau semangat untuk hadir sebagai narasumber.

Acara Silaturahim dan Lokakarya tersebut berubah menjadi acara motivasi yang menggugah para alumni Gontor untuk meraih kesuksesan bisnis. Di tengah-tengah ratusan peserta yang memadati gedung Rabithah, hadir narasumber alumni senior yang sukses menjalani berbagai macam bisnis.

Pak Sodiq Bojonegoro sapaan akrabnya menceritakan bahwa ia memiliki bisnis swalayan, toko bangunan, toko sembako, distributor pupuk, SPBU, koperasi, perkebunan, pertanian, transportasi, bisnis tembakau, dan bisnis-bisnis lainnya.

Beliau mengakui bukanlah pengusaha kelas papan atas tidak berniat menjadi pengusaha seperti itu. Yang beliau lakukan adalah bagaimana sukses di dunia dan sukses urusan akhirat. Kini, usaha-usaha tersebut diwariskan ilmunya kepada putra dan putrinya.

Di masa tuanya beliau mendirikan madrasah, sekolah, masjid, dan pesantren. Beliau bersama istri dibantu putra dan putri beliau yang mengelola dan mengembangkan pesantren tersebut.

Saya mengenali beliau lebih sebagai tokoh pergerakan gerakan dakwah, ekonomi dan pendidikan. Peranan beliau tidak hanya di Bojonegoro, namun juga di Jawa Timur dan di berbagai tempat di Indonesia. Pada saat Gempa Jogja-Klaten 2006, beliaulah yang memenuhi kebutuhan sembako Posko Gontor pada saat itu. Bahkan sumbangan beliau pada saat itu tidak terhitung.

Walaupun sebenarnya beliau hanya sampai duduk di kelas 3 KMI, akan tetapi beliau tak pernah melupakan jasa para guru di Gontor yang telah mendidiknya.

Sebagaimana yang beliau riwayatkan, ketika beliau mondok di Gontor beliau betul-betul dalam keadaan serba kekurangan. Ketika duduk di kelas 3 KMI itulah kondisi tersebut tidak bisa dielakkan. Ibu kandung beliau wafat sementara adik-adiknya masih kecil-kecil dan butuh biaya sekolah. Ia pun terpanggil untuk menjadi tulang punggung keluarga, menanggung hidup adik-adiknya.

Shodiq dengan kedewasaannya pulang ke rumah setelah mendapat restu dari Kiai Gontor. Beliau mendapatkan wasiat Trimurti “ilmu tidak didapat dari sekolah saja tapi dari mana saja. Jangan sampai berhenti menuntut ilmu,” ujar Trimurti kepada beliau.

Tekadnya bulat membantu dan mengangkat beban keluarga. Mula-mula beliau menjadi kernet angkot, kemudian naik menjadi sopir.

Sekitar tahun 1974 ia mengambil kredit bank untuk membeli angkot dan disopiri sendiri. Beberapa tahun setelah itu mobilnya berkembang menjadi 4 mobil. Ia pun merawat sendiri mobilnya sendiri jika mengalami kerusakan, Tak pernah membawanya ke bengkel. Shodiq pun memperbaiki sendiri. Ternyata bakat itu sudah lahir semenjak nyantri di Gontor.

Ustadz Shodiq juga pernah bercerita pernah menjual empat mobilnya untuk biaya haji orang tuanya. Adapun sisanya digunakan untuk mendirikan toko bangunan dan toko elektronik. Yang unik dari beliau adalah bahwa beliau melakukan usaha apa saja untuk dapat menambah penghasilannya, termasuk menjadi makelar dengan modal amanah yang diajarkan Gontor.

Tahun 1977 ia pernah untung 1 juta rupiah. Dengan modal itu ia mendirikan toko baru, dan membiayai alumni Gontor yang maju menjadi DPRD walaupun gagal. Tujuan membantu teman itu hanya karena ajaran Gontor yaitu untuk berjuang menegakkan nama Allah.

Suatu ketika beliau ingin mendirikan usaha baru yang namanya dari ustadz di Gontor yaitu IMSA (Independent Moslim Society Association). Harapannya, nama ini sedikit intelek, tapi ketika membuat stempel keliru menjadi ISMA. Karena kekeliruan ini Shodiq memelesetkan kepanjangan menjadi IMSA yang diartikan “Ini Semua Milik Allah” tuturnya.

Keberhasilan Ustadz Shodiq di bidang usaha tentu sampai di telinga Pimpinan Pondok Modern Darussalam Gontor. Kemudian, beliau diundang ke pondok untuk membenahi Usaha Kesejahteraan Keluarga (UKK) Gontor. Ia pun mengusulkan kepada pimpinan pondok agar ada ustadz yang magang di tempatnya.

Beliau menyampaikan bahwa tujuannya tak lain agar para santri dan ustadz bisa menyerap ilmu secara langsung di lapangan. Alhamdulillah cara ini berjalan baik. Prinsipnya tidak mencari manfaat dari Gontor, tapi memberi manfaat kepada Gontor, karena ini semua karena ajaran Gontor.

Pada tahun 1996, KH. Abdullah Syukri Zarkasyi memberikan amanah untuk menyalurkan sembako bersama Menteri Koperasi Adi Sasono. Lebih dari 60 ribu liter minyak dan gula disalurkan kepada masyarakat. Ketika itu Menteri Koperasi Adi Sasono bertanya, berapa keuntungan yang didapat. Beliau pun menjawab semua keuntungan untuk Gontor.

Dari sini saya menyadari bahwa jiwa keikhlasan dan pengorbanan beliau sangat nyata, apa yang dilakukan untuk membantu Gontor. Di situlah kehidupan beliau dan usahanya mendapatkan keberkahan, usahanya mendirikan swalayan semakin berkembang. In tanshurullaha yanshurkum wa yutsabbit aqdāmakum.

Sejak itu, pria yang dikaruniai 10 anak ini memiliki beberapa bisnis yang terus berkembang, seperti toko swalayan Latansa, PT Laroiba, Isma Toko Swalayan (ITS), Isma Toko Bangunan (ITB), hingga mendirikan pesantren modern di Sumberejo, Bojonegoro. Meskipun tak terjun di dunia politik praktis, Shodiq juga menjadi tokoh penting yang menyukseskan terpilihnya Bupati Bojonegoro Suyoto hingga dua periode.

Ilmunya dalam bidang ekonomi dan bisnis beliau salurkan kepada para alumni. Beliau sering menjadi narasumber pengembangan potensi kewirausahaan PLMPM, pembekalan siswa kelas 6 KMI, dan menjadi inspirator bagi terbentuknya Forum Bisnis IKPM Gontor yang digagas oleh PP IKPM Gontor.

Kepada para pengusaha alumni Gontor, beliau berpesan jangan sampai forum ini hanya untuk mengambil manfaat dari Gontor, tapi sebisa mungkin harus bisa memberi manfaat untuk Gontor. Keberhasilannya berbisnis karena menjalankan prinsip-prinsip dan ajaran Gontor. “Jangan sekali-kali menyakiti hati sesama alumni, sesama pengusaha dan memanfaatkan pengusaha Gontor, yang sukses dibikin mlarat. Ambillah manfaat dari Gontor dan berilah manfaat untuk Gontor,” pesannya.

Prinsip ini juga yang ditularkan kepada semua anaknya. Bahkan semuanya dikirim ke Gontor untuk menyerap ilmu dan membawa kunci-kunci keilmuan, kemandirian dan keikhlasan yang selalu diajarkan di Gontor. Beliaupun berpesan kepada putra-putrinya bahwa semua anak-anaknya sesibuk apapun usahanya harus ikut membantu pondok. Sayapun menyaksikan alhamdulillah semua putra-putri beliau sepulang dari Gontor ada yang mengelola bisnis palawija, pengering gabah, bisnis laundry dan sembako. Ada juga yang mendirikan PT Laroiba, PT Ojo Lamban, menjadi notaris dan bergerak di bidang pendidikan.

Pesan almarhum yang saya dapatkan ketika beliau berkunjung ke Gontor adalah apa yang disampaikan Trimurti “berjasalah tapi jangan minta jasa”.

Semoga jasa-jasa almarhum KH. Shodiq Nurhadi selalu dikenang dan menjadi teladan bagi kita semua.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *